PT. SOLID GOLD BERJANGKA BALI - Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus perkara terkait uji materi aturan pindah memilih dalam pemilu pada Kamis (28/3) besok. Uji materi tersebut diajukan oleh mahasiswa dan perwakilan masyarakat sipil peduli pemilu.
"Besok MK akan memutus uji materi yang diajukan oleh dua kelompok. Kami harap hal tersebut mendapat dukungan dari rekan-rekan semua," ujar Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Azis saat mengisi diskusi bersama Google Indonesia di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/3).
Dia melanjutkan, ada kaitan antara putusan MK dan kebijakan KPU yang menghentikan pelayanan pindah memilih untuk warga sejak 17 Maret lalu. Kebijakan ini sesuai dengan aturan dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tepatnya pasal 201.
Pasal tersebut menjelaskan pelaksanaan pindah memilih maksimal dilakukan pada 30 hari sebelum hari H pemungutan suara pemilu. Dengan demikian untuk pemungutan suara pada 17 April nanti, KPU sudah tidak bisa memberikan kesempatan kepada masyarakat yang ingin mengurus dokumen pindah memilih (A5).
"Setelah 17 Maret 2019, lalu layanan pindah memilih kami tutup secara merata hampir di seluruh kantor KPU. Namun, masih ada pemilih yang tidak bisa mengurus pindah memilih sehingga hal inilah yang menjadi klausul uji materi ke MK oleh kedua kelompok masyarakat di atas," kata Viryan.
Sebelumnya, MK menegaskan akan membacakan putusan uji materi tentang aturan pindah memilih dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 pekan ini. MK dapat memutuskan uji materi itu dengan cepat karena pemohon tidak mengajukan saksi ahli.
"Tadi sudah diumumkan bahwa itu akan diputuskan akan diucapkan tanggal 28, 28 Maret ini," ujar Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna, di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (25/3) lalu.
Palguna menjelaskan, putusan uji materi terkait Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dapat dibacakan segera karena secara hukum acara memang memungkinkan. Itu memungkinkan karena pihak pemohon tidak mengajukan saksi ahli pada persidangan.
"Karena mereka tidak mengajukan ahli kan. Kalau mengajukan ahli kami tidak bisa berbuat apa-apa. Untung tidak kan, sehingga kami bisa cepat mengambil jalan," terangnya.
Dua mahasiswa yang berkuliah di Bogor mengajukan uji materi terhadap ketentuan pindah memilih dalam Pasal 210 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2) dan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu. Keduanya adalah Joni Iskandar sebagai pemohon I dan Roni Alfiansyah Ritonga sebagai pemohon II.
Joni Iskandar berasal dari Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Dia tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) tempat asalnya. Akibatnya, Joni tidak bisa mengurus pindah memilih ke Kabupaten Bogor dan terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019.
Sementara Roni Alfiansyah Ritonga berasal dari Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara. Roni sudah tercatat dalam DPT di daerah asalnya.
Kemudian dia telah mengurus keterangan pindah memilih ke KPU Kabupaten Bogor. Namun, Roni khawatir tidak bisa memilih karena ada potensi kekurangan surat suara.
Roni pun merasa tidak puas akibat kepindahan itu. Dia hanya mendapatkan satu surat suara yakni untuk pemilihan presiden dan wakil presiden. Kedua mahasiswa ini pun berpandangan bahwa aturan pindah memilih berpotensi mencederai hak konstitusional mereka sebagai warga negara.
Selain itu, pihak lain yang melakukan uji materi terhadap UU Pemilu adalah Perludem, Pendiri Netgrit Hadar Nafis Gumay, Direktur Pusako Universitas Andalas Fery Amsari, warga binaan Augus Hendy dan A. Murogi Bin Sabar serta karyawan swasta Muhamad Nurul Huda dan Sutrisno.
Para pemohon ini menguji pasal 348 ayat (9), Pasal 348 ayat (4), Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu. Pasal-pasal ini dinilai menghambat dan berpotensi menghilangkan hak pemilih dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4).
SUMBER : REPUBLIKA.CO.ID
Comentarios