top of page
Writer's pictureitsgbbali

Mengapa Kapal TNI AL Ditabrak Kapal Vietnam?


PT. SOLID GOLD BERJANGKA BALI - Kapal dinas perikanan Vietnam menabrak kapal TNI Angkatan Laut Indonesia, yakni KRI Tjiptadi, di wilayah Laut Natuna Utara (27/4/2019).

Terlepas dari protes Pemerintah Indonesia kepada Vietnam menyusul kejadian ini, seorang peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan insiden tersebut merupakan imbas penegakan hukum di dalam negeri.

Lewat Juru bicara (Jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Arrmanatha Nasir, Pemerintah Indonesia menyampaikan penyesalannya atas kejadian yang melibatkan kapal dinas perikanan Vietnam KN 213 dan KN 264 dengan kapal TNI Angakatan Laut KRI TPD-381.

Kemlu telah menyampaikan protes kepada Pemerintah Vietnam, atas penabrakan KRI TPD-381 yang dilakukan kapal dinas perikanan negara itu, melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta.

"Tindakan kapal dinas perikanan Vietnam sangat membahayakan keselamatan personnel KRI TPD-381 dan juga personnel kapal Vietnam, serta tidak sejalan dengan hukum internasional," kata Arrmanatha dalam keterangn pers hari Senin (29/4/2019).

Menurut penuturan Jubir Kemlu itu, pihaknya saat ini tengah menunggu laporan lengkap dari Panglima TNI terkait kejadian tersebut.

"(Hal ini) yang akan menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia untuk menindaklanjuti masalah ini dengan Pemerintah Vietnam."

Pengamat Kebijakan Luar Negeri LIPI, Nanto Sriyanto, menilai nota dari Kemlu ke Kedubes Vietnam di Jakarta sudah tepat dilakukan.

"Bahwa itu membahayakan awak kapal dan mengganggu penegakan hukum," sebutnya kepada Nurina Savitri dari ABC Indonesia.

Namun demikian, ia menjelaskan kejadian itu juga menunjukkan persoalan di ranah ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang bersinggungan dengan beberapa negara tetangga.

Adanya intrusi dari Vietnam, ujar lulusan University of Queensland, ini justru menunjukkan bahwa Indonesia mengabaikan satu persoalan.

"Ini kan bicara soal Laut China Selatan kita bicara soal food security (ketahanan pangan)."

"Contoh dengan penegakan (hukum) dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) itu ternyata membuat sebagian pasokan ikan di sejumlah negara kemudian jadi terganggu," paparnya.

Nanto mempertanyakan kemitraan strategis yang dilakukan Pemerintah Indonesia dengan negara tetangganya itu.

Dari perspektif kebijakan luar negeri, dengan berkurangnya pasokan ikan, kemitraan strategis Indonesia dengan negara tetangga seharusnya dioptimalkan.

Pemerintah Indonesia semestinya telah menimbang cost and benefit (kelemahan dan kekuatan) yang realistis muncul akibat kebijakan yang dibuat.

"Artinya kita harus mengingat bahwa dengan kita menutup, semangat orang untuk masuk ke Indonesia secara ilegal itu makin besar," ujar peneliti LIPI ini kepada ABC.

Untuk mengelola perairan yang masuk dalam ZEE, sebut Nanto, memang agak berbeda dari mengelola wilayah teritorial.

"Untuk kasus Vietnam, saya mempertanyakan bagaimana kemitraan strategis Indonesia dengan Vietnam."

Kemitraan kedua negara, kata Nanto, ditandatangani sejak tahun 2013 dan pada umumnya, dalam kemitraan seperti itu ada sejumlah item di mana frekuensi atau komunikasi strategis turut menjadi item penting.

"Kami meneliti sejumlah kemitraan yang antara hitam di atas putih dengan realita di lapangan itu masih ada kesenjangan."

"Itu yang harus dipertegas kembali oleh Pemerintah Indonesia."

Sementara langkah kedua, Nanto menyebut fungsi kelembagaan di tingkat Kawasan yaitu ASEAN.

"Walau ASEAN ini kan selalu, karena memang mengedepankan musyawarah mufakat, berjalan sangat lambat. Justru seharusnya mengedepankan kemitraan strategis itu sendiri."

Ada catatan yang harus diperhatikan Pemerintah Indonesia dan hal itu terkait penguatan serta perlindungan aparat di lapangan.

"Saya tidak menyalahkan kebijakan di KKP tetapi ini adalah konsekuensi logis, ketika kita mau melindungi wilayah kita, maka perkuat aparat di lapangan," pungkasnya.


SUMBER : REPUBLIKA.CO.ID

1 view0 comments

Comments


bottom of page